Selamat Datang di Blog Saya. Jangan lupa meninggalkan pesan dan komentar Anda

Minggu, 10 Oktober 2010

Pendidikan Kewirausahaan

Modal utama seorang entrepreneur bukanlah uang, melainkan kreativitas. Tanpa kreativitas, syarat utama seorang calon entrepreneur, yang ada bukanlah entrepreneur sejati, melainkan pedagang.

Ciputra: Kita Terlalu Banyak Ciptakan Sarjana Pencari Kerja!

Oleh ST SULARTO

KOMPAS.com - Pengembangan entrepreneurship (kewirausahaan) adalah kunci kemajuan. Mengapa? Itulah cara mengurangi jumlah penganggur, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomis. Lebih jauh lagi dan politis, meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat.

Dalam ranah pendidikan, persoalannya menyangkut bagaimana dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia terampil dari sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang inspiratif-pragmatis.

Praksis pendidikan, lewat kurikulum, sistem dan penyelenggaraannya harus serba terbuka, eksploratif, dan membebaskan. Tidak hanya praksis pendidikan yang link and match (tanggem), yang lulusannya siap memasuki lapangan kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja.

Panelis Agus Bastian menangkap gejala yang berkebalikan di lingkungan terdekatnya, Kota Yogyakarta. Di satu sisi bermunculan banyak entrepreneur muda yang kreatif. Mereka jeli menangkap peluang menjawab kebutuhan komunitas kampus. Misalnya bisnis refil tinta, merakit komputer, jual beli buku, cuci kiloan, melukis sepatu—sebelumnya tentu saja yang sudah lama melukis kaus—sama seperti rekan-rekan mereka di kota lain, seperti Bandung.

Sebaliknya, pada saat yang sama, rekan-rekan mereka berebut tempat meraih kursi pegawai negeri. Ribuan anak muda terdidik berdesakan antre mendaftar, mengikuti ujian saringan, bahkan ada yang perlu merogoh kocek ratusan ribu untuk pelicin.

Ditarik dalam konteks nasional, pengamatan Bastian itulah miniatur kondisi ketenagakerjaan Indonesia, lebih jauh lagi potret lemahnya jiwa kewirausahaan. Misalnya, bahkan untuk sarjana yang relatif potensial terserap di lapangan kerja pun, sampai pertengahan tahun lalu 70 persen dari 6.000 sarjana pertanian lulusan 58 perguruan tinggi di Indonesia menganggur. Merekalah bagian dari 9,43 juta atau 8,46 persen jumlah penduduk pada Februari 2008.

Tidak imbangnya jumlah pelamar kerja dan lowongan kerja, gejalanya merata di seluruh pelosok—bahkan jumlah penganggur terdidik semakin
membesar—menunjukkan kecilnya jiwa kewirausahaan. Para lulusan lebih tampil sebagai pencari kerja dan belum sebagai pencipta lapangan kerja.

Tidak terserapnya lulusan pendidikan ke lapangan kerja memang tidak sepenuhnya disebabkan faktor tak adanya jiwa kewirausahaan. Banyak faktor lain menjadi penyebab. Meskipun demikian, tampaknya faktor dan tantangan terpenting adalah bagaimana institusi pendidikan berhasil membentuk atau menanamkan semangat, jiwa, dan sikap kewirausahaan.

Sebagai disiplin ilmu, kewirausahaan bisa diajarkan lewat sistem terstruktur, salah satu hasil penting dan utama praksis pendidikan. Lembaga pendidikan tidak dapat memberikan pekerjaan, tetapi bisa memastikan agar hasil didik mampu menciptakan pekerjaan.

Mengutip Peter F Drucker, pakar manajemen yang kondang pada tahun 1990-an, kewirausahaan itu bukan bimsalabim, apalagi berurusan dengan keturunan. Singapura dengan memiliki 4 persen wirausaha dari total penduduknya, sementara Indonesia baru 0,18 persen dari total sekitar 225 juta penduduk, bukan karena mayoritas penduduknya beretnis China dan Indonesia mayoritas Jawa. Ketimpangan itu disebabkan kurang terselenggaranya praksis pendidikan yang membuka ke arah kreativitas dan temuan-temuan bersama.

Inisiatif pada tahun 2010 ini Kementerian Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) mengalokasikan dana Rp 50 miliar untuk mencetak 10.000 sarjana wirausaha perlu dihargai. Proyek itu menambah adrenalin Kementerian Pendidikan Nasional yang lama terengah-engah dengan masalah-masalah teknis dan sistem.

Dana UKM itu digunakan untuk pemberdayaan sarjana di bawah usia 30 tahun yang masih menganggur. Sejak digulirkan Desember 2009 dan telah disosialisasikan ke sembilan provinsi, program ini diikuti 4.525 sarjana dan akan berlangsung sampai tahun 2014 dengan target tahunan tercipta 10.000 atau seluruhnya 50.000 wirausaha baru hingga tahun 2014.

Memang terlambat, sebab justru kewirausahaan seharusnya ditanamkan sejak di jenjang pendidikan anak usia dini dan bukan dicangkokkan setelah lulus. Namun, tak ada kata terlambat untuk suatu perbaikan. Program ini merupakan bagian dari upaya memperbesar jumlah wirausaha Indonesia.

Tercatat jumlah 48 juta wirausaha Indonesia, tetapi yang benar-benar wirausahawan sejati sebenarnya hanya 0,1 persen atau sekitar 400.000 orang. Minimal dari jumlah total penduduk, setidaknya Indonesia harus memiliki 2 persen dari jumlah itu. Upaya itu sejalan dengan ”impian” Ciputra, salah satu entrepreneur Indonesia yang obses, bahwa pada 25 tahun lagi lahir 4 juta entrepreneur Indonesia.

Relatif barang baru

Kewirausahaan memang masih merupakan barang baru untuk Indonesia, sementara AS sudah mengenalnya sejak 30 tahun lalu dan Eropa 6-7 tahun lalu. Munculnya entrepreneur sebagai hasil lembaga pendidikan dan buah learning by doing masih ada perbedaan persepsi. Ada yang berpendapat jiwa kewirausahaan tidak harus dihasilkan dari lembaga pendidikan, ada pendapat lain bisa dilakukan tidak lewat proses yang direncanakan.

Menurut panelis Agus Bastian, entrepreneur dan kemudian politisi yang merasa sebagai entrepreneur lahir dari jalanan, yakin kewirausahaan bisa dihasilkan juga dari semangat mengambil risiko tanpa takut, bukan lewat pendidikan khusus kewirausahaan atau manajemen. Modal utama seorang entrepreneur bukanlah uang, melainkan kreativitas. Tanpa kreativitas, syarat utama seorang calon entrepreneur, yang ada bukanlah entrepreneur sejati, melainkan pedagang.

Keyakinan Agus didukung panelis Agung Waluyo. Seorang entrepreneur jadi dari sosok seorang pedagang atau juragan. Sebab, kewirausahaan menawarkan dan menciptakan nilai, sementara jiwa dagang hanya menawarkan alternatif.

Ada contoh, seorang sarjana lulusan UGM menciptakan nilai mau membantu yang sama-sama jadi korban gempa bulan Mei 2006. Dia buat desain pakaian Muslim. Dia tawarkan lewat internet atas mentoring langsung Ciputra.

Usahanya berkembang, bahkan sekarang sudah merambah mancanegara di tiga benua besar, sampai akhirnya dia merasa tak sanggup lagi melayani permintaan pasar. Tetapi, ia sudah menciptakan nilai untuk desanya, menciptakan lapangan kerja baru.

Contoh kasus itu menunjukkan, sikap menolong orang lain diwujudkan untuk orang lain. Nilainya bukan hanya miliknya sendiri, tetapi milik orang lain juga. Yang dia lakukan adalah menginspirasikan generasi muda bahwa mereka bisa menjadi berkah bagi masyarakat. Sosok sarjana lulusan UGM di atas mirip jiwa kewirausahaan Mangunwijaya, terutama dalam konteks menciptakan nilai untuk orang lain (social entrepreneurship, kewirausahaan sosial).

Selain Kementerian Urusan Koperasi dan UKM, Kementerian Pendidikan Nasional yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan perlu diakui belum lama tanggap. Walaupun masih terengah-engah bergulat dengan soal-soal teknis, bekerja sama dengan lembaga penggiat wiraswasta seperti Ciputra Entrepreneurship Center, Kementerian Pendidikan Nasional melakukan upaya membangun jiwa kewirausahaan. Dilakukan dengan membenahi kurikulum berbasis komunitas, memperbaiki praksis pendidikan di sekolah kejuruan dan tinggi, sampai pada pengarbitan calon-calon entrepreneur yang dicangkokkan di lembaga pendidikan tinggi.

Banyaknya industri kreatif yang dihasilkan bangsa ini menunjukkan sebenarnya bangsa ini kreatif. Tetapi, mengapa kekayaan alam dan kekayaan budaya dengan segala keragamannya itu tidak dimanfaatkan untuk ekonomi?

Karena kita tidak kreatif. Karena kita tidak punya jiwa kewirausahaan—yang dengan gampang terbelokkan karena sejak awal pun bangsa ini terbelenggu tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Melalui kewirausahaan sebenarnya anugerah alam raya Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Gerakan nasional

Masalahnya, apakah yang perlu dipelajari generasi muda mengembangkan jiwa kewirausahaan? Kepercayaan diri menjadi modal utama, selain sikap dan kemauan terus menemukan yang baru tanpa kenal risiko.

Kewirausahaan membuat orang yang berhasrat besar terhadap sesuatu menjadi mandiri secara finansial dan berkontribusi untuk masyarakat. Dia melatih keterampilan, know-how, dan tindakan yang menghasilkan ide-ide dan inovasi, meyakinkan orang lain untuk menolong dan bekerja dalam sebuah tim, menerjemahkan ide menjadi kenyataan, dan mendirikan perusahaan.

Dalam konteks Indonesia, dengan kecilnya jumlah entrepreneur, kewirausahaan menjadi keharusan. Dialah kunci kemajuan. Dunia membutuhkan solusi masalah yang bisa mewujudkan impian jadi kenyataan, dilandasi ambisi dan keberanian mengambil risiko secara cerdas.

Menanamkan jiwa kewirausahaan perlu dimulai dini dalam praksis pendidikan mengusung kebebasan, sebagai contoh SD Mangunan di Sleman dan Sanggar Anak Alam di Bantul. Masih banyak yang lain, yang umumnya kembali pada dasar paling mendasar dari praksis pendidikan, yakni praksis pembelajaran yang membebaskan yang kadang direcoki dengan pendekatan teknis dan persoalan remeh-temeh mengganggu seperti kasus ujian nasional atau UU Badan Hukum Pendidikan.

Dibutuhkan satu gerakan nasional, semacam Gerakan Kewirausahaan berbasis komunitas untuk melahirkan UKM-UKM baru di satu pihak, sekaligus praksis pendidikan yang berorientasi pada pendidikan yang membebaskan di atas habitat masyarakat yang kondusif positif menyangkut 3 L (lahir, lingkungan, latihan). Gerakan baru itu dirumuskan oleh Ciputra sebagai Gerakan Budaya Wirausaha yang melibatkan pemerintah, akademisi, bisnis, dan sosok-sosok sosial.

Itulah tantangan urgen-mendesak Indonesia yang seharusnya menjadi batu penjuru dan batu sendi praksis pendidikan; dan sebaliknya menjauhkannya dari keterjebakan ”kekeliruan yang satu ke kekeliruan yang lain” yang bersifat teknis-metodis-yuridis.

Kegiatan Terbaru DIKTI MELUNCURKAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM PROGRAM KERJA 100 HARI MENDIKNAS
DIKTI MELUNCURKAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM PROGRAM KERJA 100 HARI MENDIKNAS
Selasa, 22 Desember 2009 14:59
E-mail Cetak PDF

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) menggelar acara Workshop Kewirausahaan Perguruan Tinggi sebagai komitmen Dikti dalam melaksanakan program 100 hari Kementerian Pendidikan Nasional dimana pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi menjadi salah satu ujung tombaknya.

Dengan mengusung tema “wirausaha muda inovatif untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa”, workshop ini dibuka langsung oleh Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Ir. Mohammad NUH, DEA yang memberikan arahan bagaimana seharusnya dunia pendidikan memenuhi kebutuhan masyarakat melalui pendidikan entrepreneurship. “Hari ini merupakan kesempatan bagi para pemangku kepentingan holder untuk dapat saling berbagai pengalaman,” demikian sambutan Mendiknas. “Pendidikan Indonesia seharusnya mengalami transformasi bukan reformasi.” Lebih lanjut Mendiknas mengatakan bahwa workshop ini merupakan salah satu jawaban terhadap masalah pendidikan di Iindonesia. Diharapkan bahwa pendidikan tinggi dapat menjadi penyumbang terhadap meningkatnya jumlah wirausahawan yang pada saat ini masih sekitar 0,18% dari jumlah penduduk Indonesia, menjadi minimal 1%.

Prof. dr. Fasli Jalal, Dirjen Dikti, berharap agar kegiatan yang merupakan inisiatif Dikti ini dapat mendekatkan perguruan tinggi dengan dunia usaha dan wilayah, untuk meningkatkan daya saing nasional dan kemandirian bangsa. Itulah sebabnya “Workshop ini menampilkan pelaku usaha, dosen dan mahasiswa yang selama ini terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) yang telah diluncurkan oleh Dirjen Dikti pada tahun anggaran 2009. PMW bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan jiwa wirausaha (entrepreneurship) berbasis IPTEKS kepada para mahasiswa agar menjadi pengusaha nasional yang tangguh dan sukses, menghadapi persaingan global.”

Pembicara yang didatangkan adalah mereka yang sangat berpengalaman dalam mendorong pendidikan entrepreneurship di Indonesia seperti Bob Sadino, Sandiaga Uno, Dr. Ir. Ciputra dan Budi Gunadi Sadikin. Selain itu Dikti juga mendatangkan para entrepreneur yang berhasil yang berasal dari perguruan tinggi seperti Nancy Magrid, Prof. Dr. Trinil, Elsa dan Wahyu Saidi. Mereka didatangkan untuk memberikan kesaksian bagaimana perguruan tinggi menjadi pendorong terbentuknya wirausaha yang berbasis pengetahuan. Batik fraktal adalah salah satu contohnya, bagaimana teori fraktal dalam Matematika digunakan untuk menciptakan pola-pola batik yang diterima oleh masyarakat luas.

Fasli Jalal menambahkan bahwa workshop kali ini secara khusus memiliki 6 tujuan: Meningkatkan daya saing dan kemandirian nasional, Peningkatan relevansi hasil riset dan kewirausahaan, Peningkatan kapasitas SDM, Inovasi dan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi, Meningkatkan kerja sama perguruan tinggi dengan dunia usaha, Meningkatkan knowledge based entrepreneurship di Perguruan Tinggi, Mempromosikan Teaching University – Research University – Entrepreneurship University dengan mengembangkan pusat kewirausahaan, inkubator bisnis dan teknologi serta Technopark.

Dalam usaha untuk menampung evaluasi, masukan dan saran bagi program pengembangan kewirausahaan di perguruan tinggi pada tahun 2010, dikti menggelar 3 sidang komisi yang dilaksanakan secara paralel. Sidang komisi 1 terdiri dari para dosen yang membahas penerapan pendidikan kewirausahaan dalam pembelajaran di kampus. Sidang komisi 2 berisi para mahasiswa dan pelaku usaha yang menjadi mentor dalam sidang tersebut. Dan sidang komisi 3 yang berisi kelembagaan pusat pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi.

Dalam mengembangkan kewirausahaan di perguruan tinggi, Dikti melakukan program-program dengan beberapa skema. Skema pertama adalah dengan memberikan dana bantuan kepada perguruan-perguruan tinggi sebagai bentuk permodalan bagi mahasiswa dalam Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) Dikti. Melalui program ini dana yang telah dicairkan oleh Dikti masing-masing 2 Milyar rupiah untuk Perguruan Tinggi bertaraf Internasional, 1 milyar untuk Universitas, Institut dan Sekolah Tinggi Negeri, 500 Juta rupiah untuk Politeknik Negeri, dan 1 Milyar rupiah untuk setiap koordinator perguruan tinggi swasta (Kopertis).

Skema kedua untuk pendampingan mahasiswa yang menerima bantuan permodalan ini Dikti telah melatih 1500 dosen dari sekitar 300 perguruan tinggi dalam Training Of Trainer Dosen Kewirausahaan yang bekerja sama dengan Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC). Melalui TOT para dosen diperkenalkan dengan fondasi pendidikan Entrepreneurship di perguruan tinggi. Peserta juga diperkenalkan dengan model-model pembelajaran entrepreneurship di perguruan tinggi, kreativitas sebagai dasar inovasi, best-practices lifeskill, dan bagaimana mengajarkan memulai sebuah business kepada mahasiswa.

Skema ketiga, Dikti melakukan program Cooperative Academic Edcuation atau yang lebih dikenal dengan Coop. Program ini adalah kegiatan pendidikan bagi mahasiswa S1 yang telah selesai semester 6 yang diberikan kesempatan untuk bekerja pada perusahaan, industri, UKM selama 3-6 bulan. Program Kreativitas Mahasiswa adalah program lain yang menawarkan Rp. 10 juta untuk setiap proposal yang masuk.

Skema keempat, Dikti berhasil membangun jejaring Sinergi Busines-Intelectual-Government (BIG) yang merupakan kerja sama Dikti dan Kadin Indonesia. Beberapa tujuan penting yang ingin dicapai melalui sinergi ini adalah pemetaan potensi-potensi penelitian kerjasama antara perguruan tinggi, dunia industri dan wilayah.

Skema terakhir yang dilakukan oleh Dikti adalah Kuliah Kewirausahaan. Program ini dirancang dengan menyertakan 5 kegiatan saling terkait sebagai wahana: Kuliah Kewirausahaan (KWU), Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Konsultasi Bisnis dan Penempatan Kerja (KBPK) dan Inkubator Wirausaha Baru (INWUB).

Jakarta, 17 Desember 2009 –

Tidak ada komentar: