Selamat Datang di Blog Saya. Jangan lupa meninggalkan pesan dan komentar Anda

Minggu, 25 November 2012

Mengenal Arti Merdeka, Kerajaan Bugis Lebih Duluan dari Indonesia (1)


‘Merdeka’ yang berarti ‘bebas’ dalam bahasa indonesia pertama kali dikenal secara nasional melalui pidato bung karno,  tetapi jauh sebelum kemerdekaan NKRI, Kerajaan Bugis telah mengenalnya lebih duluan seperti perataan Andi Mallarangen di Makassar dlm kampanye pilpres “Meredeka To Ogi Ade’ nami Napa Puang”. Apakah benar org Bugis lebih duluan mengenal dan mengucapkan meredeka(loghat Bugis) daripad Bung Karno dan Org Indonesia Lain. Untuk membuktikan harus ada data secara literatur atau perkataan bugis itu sendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Secar literatur yang tertuang dalam naska-naska kuno bangsa Bugis yaitu Lontara Pangadereng atau lontara yg lain.

Maka itu untuk membukti itu saya mengambil salah satu contoh dari salah satu kerajaan Bugis Makassar yaitu Wajo yang hasil sumbangan pemikiran pemerhati budaya Wajo yaitu Daeng Suryadi La Oddang yang mengulas sejarah kemerdekaan Wajo.
egeri Wajo adalah sebuah negeri yang sangat unik, ia tidak mengenal sistem pemerintahan yang otokratis, melainkan demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo, memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat. Seorang Raja tidaklah diangkat secara turun temurun, melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat oleh dewan adat yang disebut Arung Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40 Orang). Rakyat yang dalam bahasa bugis disebut Pabbanua memiliki hak dan kebebasan yang tercetus dalam adek Ammaradekangenna to Wajoe.
Ikhwal pernyataan kemerdekaan orang Wajo, tercetus pada masa pemerintahan Puangnge Ri Timpengeng, jauh sebelum masa ke-Batara-an Wajo terbentuk. Kala itu tersebutlah sebuah negeri yang sangat subur yang kemudian diberi nama kerajaan Boli (cikal bakal kerajaaan Wajo).
Suatu ketika datanglah utusan raja Kedatuan Luwu bernama Opu Balitantre. Untuk menarik Widdatali, sejenis pajak tanaman, namun ketika ia tiba ditengah kerajaan tersebut, heranlah ia melihat rumah penduduk disana, yang tidak menyerupai rumah-rumah di Luwu, ataupun di Gowa. Sehingga ia menjadi ragu, sesungguhnya kerajaan yang didatanginya ini meng-hamba kepada imperum Luwu atau Gowa ?, Keraguan tersebut dijawab oleh Puangnge Ri Timpengeng, raja ke-2 Kerajaan Boli “Ia Taue engkae kkua …, tau kumanengmua jaji, arolanmi ritangnga, Nakko Lantimojong naseng mania’, assaleng Luwu’tu. Nakko Wawokaraeng naseng manai’, Mangkasa’itu”.
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang-orang yang ada disini adalah penduduk pribumi, mereka lahir disini. Mereka memilki hak untuk mengikut kepada siapa saja, jika mereka menunjuk Gunung Latimojong, berarti mereka orang Luwu, jika mereka menunjuk Gunung Bawakaraeng, berarti mereka orang Makassar.
Setelah Opu Balitanre bertanya pada khalayak yang ada di Kerajaan Boli, tidak satupun yang menunjuk Gunung Latimojong ataupun Gunung Bawakaraeng. Hal ini berarti, Orang-orang dikerajaan Boli, adalah orang merdeka, mereka tidak meng-hamba pada imperium Luwu maupun Gowa.
Inilah asas kemerdekaan awal orang Wajo sesungguhnya. Bahkan Menurut keterangan Andi Makkaraka pada tahun 1968, pada masa pemerintahan Puannge Ri Lampullungen, raja sebelum Puangnge Ri Timpengeng asas kemerdekaan itu sudah ada, dengan bunyi “RI LALENG TAMPU’ MUPI TO WAJO’E NAMARADEKA”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Bahkan sejak dalam kandungan, orang Wajo sudah merdeka”
Dalam catatan lain, pesan-pesan kemerdekaan Wajo, berulang-ulang ditegaskan oleh para pemimpin dan cendikiawan Wajo, seperti :
Pesan Latenri Bali, Batara Wajo I
Setetelah terbentuknya kerajaan Tellu Kajuru’na Boli, maka disepakatilah untuk mengangkat La Tenri Bali sebagai raja dari kerajaan unfikasi tersebut. Sehingga sangatlah wajar jika sosok Latenribali disebut sebagai pemersatu kerajaan-kerajaan kecil di dataran Wajo saat itu. Dengan gelar Batara Wajo I, La Tenri bali mengungkapkan adagium kemerdekaan sebagai berikut :
“Maradeka To Wajoe Taro Pasoro gau’na, naisseng alena, ade’na napopuang”1 
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo itu Merdeka dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya, mereka tahu diri, dan hanya adatlah yang dijadikan anutan.
Pesan Latiringen To Taba
La Tiringen To Taba, adalah salah seorang cendkiawan Wajo yang hidup pada tahun 1436 – 1521. Hidup pada pada masa-masa pemerintahan La Tenri Bali (Batara Wajo I) sampai dengan Wajo I) hingga La Mungkace To Uddamang (Arung Matoa Wajo XI). Selama 55 tahun beliau mengabdi pada Kerajaan Wajo diantaranya pada La Tenri Bali dan La Taddampare Puang Rimaggalatung (Arung Matoa Wajo IV). Beliau adalah Petta Inanna Limpoe (Ibu Rakyat Wajo), bergelar Arung Bettengpola.
Pada tahun 1476, dibawah dua pohan asam yang berdampingan, di maklumatkanlah perjanjian yang dikenal dengan nama Mallamungpatue ri Lapadeppa. Selain menetapkan hukum pemerintahan, perjanjian tersebut juga menetapkan adek amaradekangenna to WajoE, seperti berikut :
1. Kehendak orang Wajo tidak bisa dihalangi
2. Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat
3. Orang Wajo tidak boleh dilarang pergi ke Selatan, Utara, Barat ataupun Timur
4. Jika orang Wajo hendak bepergian atau bermigrasi maka tidak boleh diatahan
5. Orang Wajo tidak berkewajiban melakukan perbuatan atau perintah yang tidak memiliki dasar hukum adatnya.
6. Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo.
7. Orang Wajo, harus senantiasa menjaga prilaku dan sopan santun.
8. Orang tidak diperkenankan melanggar hak-hak orang lain, ia harus tahu diri, dan mengenali diri sendiri, serta tidak boleh menyalahgunakan hak-hak kemerdekaan mereka.
Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai dalam adagium :
“Napoallebirengngi to WajoE, maradekaE, na Malempu, Na Mapaccing ri gau’ salaE, mareso mappalaong, na maparekki ri warang paranna”. 
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo lebih memilih kebebasan, jujur, bersih dari prilaku buruk, ulet bekerja, dan hemat.
i
Maaf teman2 Kompasiana terpaksa saya angkat topik ini, agar budaya kami tidak hilang atau di jiplak kemudian di klaim budaya yang mendapat perhatian publikasi dan didominankan oleh pemerintah, sesuai dengan kata-kata orang Bugis “Kotenniya Idi Ingga Pale” (kalau bukan kita siapa lagi?)
Jamanne narekko engka silessureng mabbere paddiseng’nge tinggal dilemba’mani bawang nappa ri pallebang ri onrong’nge…
Salam Kompasiana.

H.Amin Said Patangkai


http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=6531772382918105899#editor/target=post;postID=5660887774652208349

Tidak ada komentar: